06 Agustus, 2009

Katakan "STOP REKAYASA NILAI"


Kalau anda, para guru, sempat membaca totto chan, buku yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi, seorang mantan murid SD yang didirikan oleh Sosaku Kobayashi, sebuah SD yang sangat revolusioner dalam gaya belajar dan pengajarannya, anda akan berpikir ulang ketika anda akan mengatrol (baca: merekayasa) nilai para murid. Sekolah yang didirikan oleh Kobayashi adalah sekolah yang benar-benar unik. Bagaimana tidak unik jika metode pendidikan Keboyashi, seperti yang ditulis oleh Kuroyanagi di halaman-halaman terakhir bukunya, adalah sebuah cara mendidik yang dilandasi rasa yakin bahwa setiap anak dilahirkan dengan watak yang baik. Bahwa kalau ada anak yang tidak berwatak baik, berarti watak baik itu telah dicemari dan dirusak oleh lingkungan yang buruk atau pengaruh negatif dari orang dewasa disekitarnya. Kobayashi mendirikan sekolah itu dengan tujuan untuk mengembalikan watak baik anak-anak dan mengembangkannya, sehingga mereka akan memiliki kepribadian yang khas di masa dewasanya.

Maka, mengacu pada keyakinan Kobayashi, jika kita mengatrol nilai siswa berarti kita, sadar atau tidak, telah merubah fungsi sekolah yang semula sebagai tempat pencerahan pikiran dan perilaku menjadi lingkungan yang ikut andil dalam merusak watak baik anak. Di sekolah, mereka, secara tidak langsung, diajari kecurangan dan ketidakjujuran. Mereka belajar untuk mencari jalan pintas dan tidak belajar untuk menjadi ulet dan pekerja keras.

Yang salah, sehingga timbul budaya katrol nilai, adalah pandangan bahwa kecerdasan diukur dari memiliki nilai-nilai sempurna di setiap mata pelajaran-jika seorang anak tidak mendapat nilai yang baik, pasti dia tidak cerdas. Sungguh suatu pandangan yang bodoh. Kita bisa lihat di sekitar. Anak yang pulang dengan buku raport yang ‘hitam’ sempurna, orang tua akan sangat gembira, membelikannya hadiah dan membanggakannya dihadapan orang lain. Tetapi ketika nilainya ‘merah’, orang tua akan cemberut, memarahi dan menghukum, bahkan mungkin malu dengan anaknya yang (dengan sangat sembrono dicap sebagai anak) bodoh.

‘Penyakit’ ini tidak hanya menjangkiti orang tua, tetapi, kemudian, berturut-turut guru ( yang tidak mau dianggap sebagai guru gagal karena tidak bisa mencerdaskan siswa ), sekolah (yang ogah disebut sebagai sekolah tidak bermutu) dan seterusnya, sehingga lama-kelamaan pengatrolan nilai menjadi sebuah budaya baru.

Orang tua, kita (para guru), sekolah dan seterusnya lupa bahwa esensi pendidikan bukanlah pada angka yang ditulis di lembar rapot atau transkrip nilai. Kita lupa bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang panjang. Proses yang melelahkan inilah yang paling penting. Saya, mengajar bahasa Inggris di sekolah pinggiran kota, pernah mendengar siswa saya yang mengatakan bahwa dia tidak akan menjual es cendol sampai ke Inggris. Siswa saya itu tidak menyukai pelajaran yang saya ampu. Yang dia maksudkan dengan perkataannya tadi adalah, dia tidak perlu fasih berbahasa Inggris untuk mendapatkan uang. Saya jawab memang betul. Dia bisa jadi tidak akan bergantung pada keahliannya berbahasa Inggris untuk mendapatkan penghidupan, tetapi jika dia tekun belajar bahasa Inggris ( dan pelajaran-pelajaran lain ) maka sebetulnya dia akan terbiasa untuk berpikir secara ajeg (kontinyu). Kalau dia sudah terbiasa berpikir secara ajeg, dia akan mendapatkan semacam ‘kunci’ untuk keluar dari permasalahan-permasalahan yang dia temui di masa mendatang. Tetangga saya, seorang sarjana pertanian jurusan ilmu tanah keluaran IPB, bekerja sebagai pegawai bank yang sukses. Taufiq Ismail, penyair hebat itu, adalah dokter hewan lulusan IPB juga. Apakah Tufiq Ismail bodoh hanya karena ia lebih fokus pada kepenyairannya daripada menjadi dokter hewan? Sekali lagi, proses lebih penting daripada angka.

Kalau kita, para guru, mau sedikit meluangkan waktu membaca Frames of Mind, buku yang ditulis oleh Howard Gardner, profesor kognisi dan edukasi di Universitas Harvard, kita pasti tidak akan memaksa untuk menuliskan nilai yang tidak sesuai dengan keadaan anak didik kita. Gardner mengatakan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya berupa kecerdasan linguistik dan matematis logis seperti yang telah diakui secara luas. Tetapi masih ada lagi kecerdasan yang lain seperti kecerdasan musikal, kecerdasan spasial dan visual, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal serta kecerdasan naturalis. Perbedaan tipe kecerdasan antara orang perorang akan mempengaruhi gaya belajar, gaya bekerja dan karakter mereka.

Jika seorang anak di kelas kita adalah anak dengan tipe kecedasan kinestetis, mengapa kita harus memaksa dia agar cerdas secara matematis-logis? Memang bukan suatu hal yang mustahil, jika mau kerja keras dan tekun, seseorang dengan jenis kecerdasan tertentu akan mendapatkan jenis kecerdasan yang lain. Tetapi akan ada banyak waktu yang terbuang. Sedangkan kalau ia menekuni apa yang menjadi jenis kecerdasannya, dia mungkin telah dapat mengembangkannya dengan sangat baik. Sekarang apakah tidak janggal jika anak-anak- saya tuliskan secara jamak, bukan tunggal- kita secara akal-akalan tampak cerdas di semua pelajaran? Seharusnya sekolah menjadi lingkungan yang tepat bagi tiap-tiap siswa untuk mengembangkan tipe kecerdasan mereka.

Pengatrolan nilai, alih-alih meningkatkan martabat guru dan sekolah, hanya akan mematikan kecerdasan dan motivasi siswa. Siswa yang dapat nilai baik, padahal dia tahu kalau dia tidak berhak nilai itu, cenderung akan meremehkan guru. Begitu juga dengan siswa yang benar-benar cerdas, yang mati semangat belajarnya karena merasa jerih payahnya selama ini tidak dihargai. Akan lebih celaka lagi ketika anak-anak yang mendapat nilai ‘fantastis’ di raport, tidak lolos tes masuk SMA. Angka-angka itu tidak berguna lagi. Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah pun luntur.

Kita pernah memiliki tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir dan lainnya. Mereka adalah tokoh-tokoh terkenal dan disegani tidak hanya dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Mereka adalah produk pendidikan di masa itu. Sedangkan sekarang, mengapa pendidikan kita saat ini gagal melahirkan tokoh-tokoh besar seperti mereka? Karena pendidikan saat itu menyakini bahwa pendidikan adalah sebuah proses. Yang dilalui setapak demi setapak. Sedangkan pendidikan saat ini sangat mendewakan hasil, bukan proses. Perubahan paradigma pendidikan kita ini tidaklah berdiri sendiri melainkan dampak dari perubahan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Lihatlah sinetron-sinetron kita, lihatlah tayangan-tayangan untuk mencari idola-idola yang banyak peminat, kesemuanya itu mendidik itu untuk bergaya hidup senang, tetapi dengan usaha minimal. Mental seperti ini telah merasuki sistem pendidikan kita.

Kita harus berorientasi pada jangka panjang, bukan berorientasi pada jangka pendek. Dengan demikian, kalau anda rajin melihat empat mata-nya Thukul, anda akan berpandangan, bukan hanya menirukan, bahwa katrol nilai itu katrok.

BEBAN BERAT SEORANG GURU



“Sungguh berat beban seorang guru. Jika siswa tidak lulus, yang disalahkan gurunya. Jika mereka terlibat tawuran, yang disalahkan gurunya. Namun, jika guru dilecehkan oleh murid – muridnya, mereka harus selalu bersabar. Tidak bersabar, bahkan bila sampai menangani murid – muridnya, mereka akan dituduh telah melanggar HAM.”

Bel masuk berbunyi. Saya dan teman guru yang lainnya masuk ke kelas untuk mulai mengajar. Di tengah – tengah mengajar, saya mencandai para siswa itu: “Jika kamu nakal, hal pertama yang akan saya lakukan adalah menampar kamu”. Dengan tertawa murid – murid saya menjawab: “Jika Ibu menampar kami, hal pertama yang akan kami lakukan adalah melaporkan Ibu ke polisi karena Ibu telah melanggar HAM”. Kami lalu tertawa bersama.

Bel istirahat berbunyi. Tanpa saya duga, seorang guru wanita melaporkan kenakalan anak – anak di kelasnya yang sudah kelewat batas. Ketika ibu guru itu marah – marah, dengan mengejek, anak – anak itu berkata bahwa mereka akan melaporkan sang ibu guru jika sampai memukul mereka.

Seorang guru senior, kemudian angkat bicara. “Itulah. Guru sekarang tidak lebih bermartabat daripada guru di masa lampau. Guru – guru saya dulu, tidak segan memukul siswa dengan penggaris jika murid – muridnya melakukan kesalahan. Itupun masih disertai dengan omelan yang menyakitkan hati. Tapi, banyak dari murid – murid itu yang kemudian menjadi orang – orang yang sukses. Saat ini, anak – anak kita dimanjakan dengan perlakuan istimewa. Tapi kemampuan akademis anak – anak sekarang tidak lebih baik daripada siswa – siswa lulusan sekolah jaman dulu. Celakanya, selalu guru yang disalahkan”.

Entah mana yang benar. Tapi keluhan beberapa guru di atas tidak bisa disalahkan begitu saja.

04 Agustus, 2009

Jadilah Guru yang Selalu Ditunggu Siswa

Banyak sekolah tak berhasil menyiapkan murid memenuhi tuntutan pasar kerja.
Itu harus dihindari sejak sekarang. Karena itu guru dituntut bisa menjadikan murid berkemampuan menerapkan ilmu dan pengetahuan di masyarakat.

Dunia hanya ada dua profesi. Satu guru, sedangkan kedua yang lain-lain. ”Itu berarti semua profesi berawal dari guru. Tak ada dokter langsung lulus, tetapi berawal dari guru. Itu luar biasa,”.

Karena itu dia meminta mereka menjadi guru yang disukai dan ditunggu-tunggu murid. Ketika guru tak kelihatan, para siswa pun mencari. ”Jika sakit, dia didoakan bersama-sama.”

Dia meminta mereka kelak tak menjadi guru yang membosankan di kelas. Guru harus bisa menerangkan pelajaran secara jelas. Pelajaran rumit jadi sederhana.

Mengenal Murid

”Jangan jadi guru yang hanya duduk, menerangkan sambil memegang buku. Jadilah guru yang tak pegang buku lagi di depan para murid karena sudah mempersiapkan bahan sebelum pelajaran. Guru harus kenal murid satu per satu. Ketika tak seorang murid tak masuk, dia langsung tahu,”.

”Jangan sampai ketidakhadiran guru malah membuat semua murid senang. Kalau masih ada yang seperti itu, itu menunjukkan guru tersebut tak berhasil mengajar dengan baik.”

Jadilah Guru yang Selalu Ditunggu Siswa''

Banyak sekolah tak berhasil menyiapkan murid memenuhi tuntutan pasar kerja.
Itu harus dihindari sejak sekarang. Karena itu guru dituntut bisa menjadikan murid berkemampuan menerapkan ilmu dan pengetahuan di masyarakat.

Dunia hanya ada dua profesi. Satu guru, sedangkan kedua yang lain-lain. ”Itu berarti semua profesi berawal dari guru.
Tak ada dokter langsung lulus, tetapi berawal dari guru. Itu luar biasa,”.

Karena itu dia meminta mereka menjadi guru yang disukai dan ditunggu-tunggu murid. Ketika guru tak kelihatan, para siswa pun mencari. ”Jika sakit, dia didoakan bersama-sama.”

Dia meminta mereka kelak tak menjadi guru yang membosankan di kelas. Guru harus bisa menerangkan pelajaran secara jelas. Pelajaran rumit jadi sederhana.

Mengenal Murid

”Jangan jadi guru yang hanya duduk, menerangkan sambil memegang buku. Jadilah guru yang tak pegang buku lagi di depan para murid karena sudah mempersiapkan bahan sebelum pelajaran. Guru harus kenal murid satu per satu. Ketika tak seorang murid tak masuk, dia langsung tahu,”.

”Jangan sampai ketidakhadiran guru malah membuat semua murid senang. Kalau masih ada yang seperti itu, itu menunjukkan guru tersebut tak berhasil mengajar dengan baik.”


05 April, 2009

Solusi Penelitian bagi Guru

GURU adalah jabatan profesional. Salah satu ciri keprofesionalan adalah kemampuan meneliti. Esensi penelitian berkait dengan pembelajaran yang meliputi meliputi tiga hal.

Pertama, perencanaan berupa kemampuan menyusun perangkat administrasi berupa silabus, rencana pembelajaran. Kedua, kemampuan menyajikan pembelajaran secara menarik, bermakna, dan bermutu. Ketiga, kemampuan menilai hasil pembelajaran secara berkesinambungan.

Merujuk hal itu, guru dapat melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian itu bersifat reflektif, mengulas secara kritis, dengan melakukan tindakan tertentu untuk memperbaiki praktik pembelajaran di kelas secara profesional. Tujuan utama PTK untuk memperbaiki pembelajaran yang didasari hasil penelitian pendahuluan, sehingga menghasilkan suatu tindakan.

McKey (2007) menyatakan, proses PTK terdiri atas tujuh tahap. Pertama, pemilihan dan pembatasan masalah. Kedua, pengumpulan bahan. Ketiga, penyusunan bahan. Keempat, pembuatan kerangka tulisan. Kelima, penulisan naskah awal. Keenam, revisi. Ketujuh, penulisan naskah akhir.

Kelemahan mendasar adalah guru belum terbiasa menulis. Mereka lebih terbiasa berbicara. Apalagi motivasi mereka rendah serta wawasan dan pendukung bacaan minim. Itu diperparah oleh perasaan tak mampu, takut salah, tak berani mengambil risiko, dan alasan klasik tak punya waktu, serta merasa sudah hidup mapan, tak mau berubah.

Pangkal permasalahan ternyata adalah keberanian guru untuk mengubah paradigma berpikir bahwa meneliti adalah bagian dari hidup mereka. Bila kondisi itu dibiarkan berlarut-larut, akan membuat pembelajaran mandek dan monoton sehingga kemampuan siswa pun rendah.

Untuk mengatasi perlu dorongan, latihan, dan membudayakan guru menulis PTK. Hal itu untuk mengembangkan profesi atau memperoleh angka kredit jabatan fungsional.

Guru perlu membiasakan diri melakukan PTK sebagai wujud tanggung jawab pendidik dan pengajar. Pemberdayaan guru dalam pembelajaran lewat PTK menjadi salah satu bahan masukan penyusunan dan penetapan kebijakan pendidikan.

Yang tak kalah penting, guru mau memutakhirkan ilmu pengetahuan, belajar secara berkelompok, dan membiasakan diri menulis catatan harian selama dan setelah mengajar di kelas.

Itu bisa menjadi bahan orisinal sebagai langkah awal PTK. Guru perlu menyadari bahwa permasalahan di kelas tak akan terselesaikan orang lain, jika sang guru tak memecahkan masalah melalui PTK. Selamat mencoba. (53)

Dijamin Tak Ada Penghentian Tunjangan Profesi Guru

OLEH- OLEH MENGIKUTI SEMINAR DI PASCASARJANA (S2) UNNES
=========================================================

SEMARANG-Para guru diminta tidak mempercayai kabar yang mengatakan pembayaran tunjangan profesi guru PNS dan non-PNS pada Depdiknas dan Depag untuk sementara dihentikan dan tunjangan profesi yang telanjur dibayarkan secara bertahap akan dipotong.

"Pembayaran tunjangan profesi bagi guru yang telah bersertifikasi adalah amanat UU. Jika Menkeu tidak mau membayarkan tunjangan tersebut, berarti UU harus diganti,'' ungkap Direktur Profesi Pendidik, Dirjen PMPTK Dr Achmad Dasuki MPd.

Dia mengungkapkan hal itu saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional Arah Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang diprakarsai oleh Program Pascasarjana Unnes dalam rangkaian Dies Natalis Ke-44 PTN itu di Auditorium Sekaran, baru-baru ini.

Karena itu ia menyayangkan pertanyaan petinggi salah satu organisasi guru yang banyak dikutip media massa belakangan ini yang dinilainya meresahkan para guru.

Hal itu terkait kabar tentang surat Menteri Keuangan No S-145/MK.05/2009 tertanggal 12 Maret 2009 tentang pembayaran tunjangan profesi guru dan dosen PNS dan non-PNS pada Depdiknas dan Depag yang akan ditunda atau dipotong sesuai ketentuan jika sampai dengan akhir tahun 2009 PP mengenai hal itu belum juga ditetapkan. ''Hal itu tidak akan terjadi. Apalagi Kepres juga sedang disusun,'' tegasnya.
Evaluasi

Pada kesempatan itu, Achmad juga menepis anggapan bahwa para guru agama dianaktirikan dalam sertifikasi. Pasalnya, sambung dia, dalam sertifikasi yang dinilai adalah kompetensi bukan mata pelajaran apa yang diampu seorang guru.

Adapun guru yang telah mendapatkan sertifikasi, kata dia, akan terus dievaluasi kinerjanya. Yang bersangkutan juga harus bisa memenuhi target mengajar 24 jam/minggu.

Namun demikian, persentase kelulusan sertifikasi dari tahun ke tahun cenderung menurun. Dia menjelaskan, pada 2006, dengan kuota 20 ribu, yang lulus portofolio 49,60% dan PLPG 42,89%. Sedangkan pada 2007, dari 180.450, hanya 40,95% lulus portofolio dan 50,02% lulus PLPG. Tahun lalu, dari kuota 200 ribu, hanya 32.22% lulus portofolio, 33.20% lulus PLPG.

Seperti diketahui, kriteria penetapan peserta sertifikasi guru dalam jabatan adalah masa kerja, usia, golongan/pangkat, beban mengajar, tugas tambahan, dan prestasi kerja. Namun demikian tidak semua dinas melakukan penyusunan daftar urut guru calon peserta sertifikasi karena dirasakan terlalu rumit.

Guru yang sudah bersertifikat memerlukan dana Rp 57 triliun pada 2015, jadi pengeluaran biaya yang tinggi untuk pendidikan, khususnya guru, akan sia-sia jika yang bersangkutan tidak menunjukkan kinerjanya.

Pembicara lain, Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas Surya Dharma MPA PhD menekankan pentingnya peningkatan kualitas guru demi peningkatan mutu pendidikan, khususnya prestasi akademik siswa. (H11-45)

30 Maret, 2009

Tunjangan Profesi Guru Terancam Dihentikan

Belum Ada PP dan Perpres yang Mengatur

JAkarta, Kompas - Pembayaran tunjangan profesi guru dan dosen sebesar satu kali gaji pokok per bulan terancam dihentikan. Penghentian tunjangan profesi guru dan dosen ini akibat belum adanya peraturan pemerintah dan peraturan presiden mengenai tunjangan profesi.

Sesuai dengan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pemberian tunjangan profesi diatur melalui peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres). Namun, kedua peraturan tersebut hingga saat ini masih disusun.

Berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor S-145/MK05/ 2009 tertanggal 12 Maret 2009 soal pembayaran tunjangan profesi guru dan dosen PNS/nonPNS pada Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama, jika sampai akhir Juni 2009 PP dan perpres mengenai tunjangan profesi belum ditetapkan, pembayaran tunjangan profesi untuk sementara dihentikan.

Apabila sampai akhir tahun 2009 PP dan perpres mengenai tunjangan profesi guru dan dosen belum juga ditetapkan, tunjangan profesi yang telanjur dibayarkan akan dipotong secara bertahap dari gaji guru yang bersangkutan sesuai ketentuan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Pengaturan Gaji PNS, pemberian tunjangan PNS tertentu (seperti tunjangan profesi guru dan dosen) diatur dengan perpres.

Membuat resah

Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Jumat (27/3), menyesalkan adanya surat menteri keuangan yang akan menghentikan pembayaran tunjangan profesi guru dan dosen. ”Surat itu membuat resah para guru. Persoalan administratif seharusnya sudah diselesaikan pemerintah jauh-jauh hari sebelumnya. Kami meminta supaya hak guru dan dosen tetap dibayarkan karena itu amanat UU Guru dan Dosen,” katanya.

Menurut Sulistiyo, PGRI sudah mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta Presiden segera menerbitkan perpres tunjangan guru dan dosen sebelum Juni ini. ”Saya juga sudah berkoordinasi dengan Menteri Sekretaris Negara. Mensesneg berjanji untuk melakukan upaya dan berkoordinasi dengan berbagai pihak supaya perpres yang mengatur tunjangan profesi guru selesai sebelum Juni,” katanya.

Baedhowi, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, menjelaskan bahwa sampai saat ini pembayaran tunjangan profesi guru di Depdiknas masih berjalan. Tunjangan profesi guru dari pemerintah pusat di lingkungan Depdiknas dimasukkan sebagai bantuan sosial, bukan gaji, sehingga tidak ada masalah.

Baedhowi menjelaskan, yang dibutuhkan adalah PP Dosen yang belum ada. Selain itu juga Perpres mengenai Tunjangan Profesi untuk guru di lingkungan Departemen Agama. Tunjangan profesi guru agama belum dibayar karena tunjangan profesi dimasukkan dalam komponen gaji sehingga belum bisa dicairkan.

”Depdiknas bersama Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara terus bertemu untuk mempercepat pembahasan masalah ini,” ujarnya. (ELN)

15 Februari, 2009

Guru Lulus Sertifikasi Jadi Malas Ikuti Pelatihan Apalagi Kuliah S2

SEMARANG - Guru yang lulus sertifikasi cenderung beranggapan tak perlu lagi ikuti pelatihan atau seminar. Tak pelak lagi , setiap kali ada pelatihan, peserta adalah guru yang belum lulus sertifikasi. "Anggapan itu keliru,’’ Apalagi melanjutkan Pendidikan  kuliah Pasca Sarjana (S2) dengan biaya yang tidak sedikit, sekurang kurangnya dibutuhkan dana Rp 5 Juta persemester selama 2 Tahun.

Seharusnya guru yang lulus sertifikasi semestinya tetap mengasah kemampuan. Langkah itu antara lain dengan mengikuti pelatihan sehingga kemampuan mereka termutakhirkan.

"Pelatihan sangat penting untuk peningkatan kompetensi guru. Bukan hanya bagi yang belum mendapat sertifikat pendidik, melainkan juga bagi guru yang lulus sertifikasi,’’.

Guru, sekarang perlu menguasai pembuatan multimedia pembelajaran. Sebab, kebanyakan guru merasa tindakan itu sulit dan butuh waktu lama.

Padahal, pembuatan mulitimedia pembelajaran tak sesulit yang dibayangkan. Cukup berbekal penguasaan program Microsoft Powerpoint, guru dapat membuat multimedia pembelajaran relatif singkat.

"Apalagi jika guru itu punya cita rasa seni. Multimedia pembelajaran yang dihasilkan bakal berkualitas tinggi,’’.

Kemampuan guru menyajikan pembelajaran multimedia penting. Sebab, terbukti meningkatkan motivasi dan daya serap siswa. Apalagi semua pelajaran dapat disajikan dengan multimedia

03 Februari, 2009

Faktor-faktor Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

Dewasa ini banyak kita jumpai para guru yang belum melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di dalam proses pembelajarannya di sekolah. Masalahnya sangat komplek, dan jawabannya ternyata ada pada diri guru itu sendiri. Belum banyak guru yang mengenal apa itu PTK. Kalaupun tahu, PTK masih dianggap sesuatu yang menakutkan. Mereka menganggap PTK itu sama dengan ketika mereka menulis skripsi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan guru belum melakukan PTK di dalam proses pembelajarannya di sekolah . Faktor-faktor itu adalah sebagai berikut :

1.Guru kurang memahami profesi guru
Di dunia ini hanya ada dua profesi. Profesi guru dan bukan guru. Profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Para guru hendaknya menyadari profesi mulia ini. Guru harus dapat memahami peran dan fungsi guru di sekolah. Guru sekarang bukan hanya guru yang mampu mentransfer ilmunya dengan baik, tapi juga mampu digugu dan ditiru untuk memberikan tauladan kepada anak didiknya. Anak didik kita butuh figur untuk menjadi tauladan yang tidak hanya sebatas ucapan tapi juga tindakan. Apakah kita sudah menjadi tauladan untuk anak didik kita?

Profesi guru adalah profesi yang bukan hanya mulia dimata manusia, tetapi juga di mata Tuhan. Profesi ini sangat menjanjikan untuk mereka yang berhati mulia. Karena itu guru harus dapat mengajar dan mendidik dengan hatinya agar dapat menjadi mulia. Hati yang bersih dan suci akan terpancar dari wajahnya yang selalu ceria, senang, dan selalu menerapkan 5S dalam kesehariannya ( Salam, Sapa, Sopan, Senyum, Sabar).

2. Guru malas membaca Saat ini kita melihat banyak guru yang malas membaca. Padahal dari membaca itulah akan terbuka wawasan yang luas dari para guru. Kesibukan-kesibukan mengajar membuat guru merasa kurang sekali waktu untuk membaca. Coba kita lihat di perpustakaan sekolah. Terlihat sekali banyak guru yang jarang pergi ke perpustakaan. Ini nyata, dan terjadi di sekolah kita. Bukan hanya di sekolah, di rumah pun guru malas membaca. Guru harus melawan kebiasaan malas membaca. Ingatlah dengan membaca kita dapat membuka jendela dunia. Pengalaman mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu, namun bila kita malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa. Guru yang rajin membaca, otaknya persis seperti komputer atau ibarat google di internet. Bila ada siswa yang bertanya, memori otaknya langsung bekerja mencari dan menjawab pertanyaan para siswanya dengan cepat dan benar. Akan terlihat wawasan guru yang rajin membaca, dari cara bicara dan menyampaikan pengajarannya.

3. Guru malas menulis Bila guru malas membaca, maka sudah bisa dipastikan dia akan malas pula untuk menulis. Menulis dan membaca adalah kepingan mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Guru yang terbiasa membaca, maka ia akan terbiasa menulis, mengapa? Dari membaca itulah guru mampu membuat kesimpulan dari apa yang dibacanya, kemudian kesimpulan itu ia tuliskan lagi dalam gaya bahasanya sendiri. Menulis itu ibarat pisau yang kalau tidak sering diasah, maka akan tumpul dan berkarat. Guru yang rajin menulis, maka ia mempunyai kekuatan tulisan yang sangat tajam, layaknya sebilah pisau. Tulisannya sangat menyentuh hati, dan bermakna. Runut serta mudah dicerna bagi siapa saja yang membacanya. Menulis untuk hidup, hidup untuk menulis. Bagi mereka yang sudah terbiasa menulis, pasti matang akan pengalamannya. Proses menulis tidaklah sekali jadi. Guru harus sering berlatih untuk menulis. Tulisan yang enak dibaca dimulai dari proses menulis itu. Kemampuan guru menulis baik, bila tulisannya layak untuk dibaca banyak orang. Bermakna dan mempunyai daya tarik tersendiri.

4. Guru kurang sensitif terhadap waktu Orang barat mengatakan bahwa waktu adalah uang, time is money. Bagi guru waktu lebih dari uang dan bahkan bagaikan sebilah pedang tajam yang dapat membunuh siapa saja termasuk pemiliknya. Pedang yang tajam bisa berguna untuk membantu guru menghadapi hidup ini, namun bisa juga sebagai pembunuh dirinya sendiri. Bagi guru yang kurang memanfaatkan waktunya dengan baik, maka tidak akan banyak prestasi yang ia raih dalam hidupnya. Dia akan terbunuh oleh waktu yang ia sia-siakan. Karena itu guru harus sensitive terhadap waktu. Detik demi detik waktunya teratur dan terjaga dari sesuatu yang kurang baik serta sangat berharga. Saat kita menganggap waktu tidak berharga, maka waktu akan menjadikan kita manusia tidak berharga. Demikian pula saat kita memuliakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang mulia. Karena itu, kualitas seseorang terlihat dari cara ia memperlakukan waktu dengan baik. Orang yang sukses dalam hidupnya adalah orang yang pandai memanage waktu dengan baik. Waktunya benar-benar sangat berharga dan berkualitas. Setiap waktu terprogram dengan baik. Tak ada waktu yang terbuang percuma.

5.Guru terjebak dalam rutinitas kerja Kesibukan kerja setiap hari menjadi rutinitas yang tiada henti. Guru harus pandai mengatur rutinitas kerjanya. Jangan sampai guru terjebak sendiri dengan rutinitasnya yang justru tidak menghantarkan dia menjadi guru yang baik dan menjadi tauladan anak didiknya. Guru harus pandai mensiasati pembagian waktu kerjanya. Buatlah jadwal yang terencana. Buang kebiasan-kebiasaan yang membawa guru untuk tidak terjebak di dalam rutinitas kerja, misalnya : pandai mengatur waktu dengan baik, membuat diari atau catatan harian yang ditulis dalam agenda guru, dan lain-lain. Rutinitas kerja tanpa sadar membuat guru terpola menjadi guru pasif bukan aktif. Hari-harinya diisi hanya untuk mengajar saja. Dia tidak mendidik dengan hati. Waktunya di sekolah hanya sebatas sebagai tugas rutin mengajar yang tidak punya nilai apa-apa. Guru hanya melakukan transfer of knowledge. Tidak mau tahu dengan lingkungan dan kondisi sekolah apalagi kondisi siswa. Dia mengganggap pekerjaan dia adalah karirnya, karena itu dia berusaha keras agar yang dilakukannya bagus di mata pimpinannya atau kepala sekolah. Tak ada upaya untuk keluar dari rutinitas kerjanya yang sudah membosankan. Bahkan sampai saatnya memasuki pensiun.

6.Guru kurang kreatif dan inovatif Merasa sudah berpengalaman membuat guru menjadi kurang kreatif. Guru malas mencoba sesuatu yang baru dalam pembelajarannya. Dia merasa sudah cukup. Tidak ada upaya untuk menciptakan sesuatu yang baru dari pembelajarannya. Dari tahun ke tahun gaya mengajarnya itu-itu saja. Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang dibuatpun dari tahun ke tahun sama, hanya sekedar copy paste tanggal dan tahun saja. Rencana Program pembelajaran tinggal menyalin dari kurikulum yang dibuat oleh pemerintah atau menyontek dari guru lainnya. Guru menjadi tidak kreatif. Proses kreatif menjadi tidak jalan. Untuk melakukan suatu proses kreatif dibutuhkan kemauan untuk melakukan inovatif yang terus menerus, tiada henti. Guru yang kreatif adalah guru yang selalu bertanya pada dirnya sendiri. Apakah dia sudah menjadi guru yang baik? Apakah dia sudah mendidik dengan benar? Apakah anak didiknya mengerti dengan apa yang dia sampaikan? Dia selalu memperbaiki diri. Dia selalu merasa kurang dalam proses pembelajarannya. Dia tidak pernah puas dengan apa yang dia lakukan. Selalu ada inovasi baru yang dia ciptakan dalam proses pembelajarannya.Dia selalu belajar sesuatu yang baru, dan merasa tertarik untuk membenahi cara mengajarnya. Guru tidak akan pernah menemukan proses kreativitas bila cara-cara yang digunakan dalam mengajar adalah cara-cara lama. Sekarang ini, sulit sekali mencari guru yang kreatif dan inovatif. Kalaupun ada jumlahnya hanya dapat dihitung dengan dua jari. Guru sekarang lebih mengedepankan penghasilan daripada proses pembelajaran yang kreatif. Benarkah?

7. Guru malas meneliti Paling sering kita dengar bahwa guru malas untuk meneliti. Setiap tahun pemerintah maupun swasta melakulan lomba karya tulis ilmiah untuk para guru, dengan harapan guru mau meneliti. Namun, hanya sedikit guru yang memanfaatkan peluang ini dengan baik. Padahal ini sangat baik untuk guru berlatih menulis, dan meyulut guru untuk meneliti. Dari meneliti itulah guru akan tahu pembelajarannya. Penelitian diselenggarakan untuk memperbaiki hal-hal yang telah dilakukan agar menjadi lebih baik atau menciptakan sesuatu yang baru. Guru yang terbiasa neneliti, akan segera memperbaiki kinerjanya yang tidak baik. Sebenarnya meneliti itu tidak sulit. Kesulitan itu sebenarnya berasal dari guru itu sendiri. Guru malas untuk meneliti. Mengapa? Karena guru menganggap tugas meneliti itu adalah bukan tugasnya. Tugas guru hanya mengajar. Meneliti adalah tugas mereka yang ingin naik pangkat atau mendapatkan gelar sarjana. Kalau sudah kepepet barulah guru mau meneliti, misalnya kalau ingin naik pangkat dari golongan IVA ke IVB. Guru harus wajib meneliti dan memberikan laporan ilmiahnya. Kalau tidak, maka pangkatnya tidak akan naik. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa guru golongan IVA sudah banyak, dan guru golongan IVB masih sangat sedikit. Banyak guru yang mengalami kesulitan dalam meneliti dan melaporkan hasil penelitiannya. Sehingga banyak guru yang terperangkap untuk tidak naik pangkat, karena tidak terbiasa meneliti.

8.Guru kurang memahami PTK Kenyataan yang ada banyak guru yang kurang memahami penelitian tindakan kelas atau PTK. Guru menganggap PTK itu sulit. Padahal PTK itu tidak sesulit apa yang dibayangkan. PTK dilakukan dari keseharian kita mengajar. Tidak ada yang sulit, semua dilakukan dengan mudah sebagaimana keseharian kita mengajar di kelas. Guru hanya perlu merenung sedikit dari proses pembelajarannya. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah Sebuah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri dengan jalan merencanakan, melaksanakan, dan merefleksikan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat Dalam buku yang akan saya buat, penulis ingin mengantarkan para guru dan membuka wawasan guru tentang pentingnya PTK untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas pembelajaran kita di sekolah. Mohon ditunggu penerbitan buku ini.

13 Januari, 2009

Meningkatkan Daya Tangkap

Blogger Mania  yang baik, saya bisa memahami masalah Anda.

Kecerdasan bisa dikalahkan oleh pemikiran
Tidak semua pribadi yang cerdas memiliki keterampilan berpikir yang baik. Kecerdasan tidak sama dengan pemikiran. Seperti berenang, berpikir juga membutuhkan penggunaan teratur dan bersemangat – bila kita mengharapkan tercapainya tingkat keterampilan yang baik.
Mulai sekarang, janganlah lagi Anda anggap ringan diri anda sendiri. Orang lain boleh meragukan kemungkinan-kemungkinan Anda, tetapi Anda – tidak.
Bila kita merasa tertinggal dan belum mencapai yang telah dicapai oleh rekan-rekan kita, kita dianjurkan untuk mengimbangi perasaan itu dengan hal-hal baik yang telah kita miliki.
Yakinlah, Anda dapat mengubah hidup Anda dengan mengubah yang Anda kerjakan. Anda dapat meningkatkan kualitas hidup Anda, dengan meningkatkan kualitas dari cara-cara Anda. Dan perbaikan cara-cara Anda , bisa dicapai dengan mengambil pelajaran dari yang sedang terjadi dalam waktu Anda sekarang.
Dan dengannya, Anda akan segera meninggalkan hal-hal yang tidak berguna bagi upaya Anda untuk mencapai kualitas hidup impian Anda.

begitu dulu ya, Blogger.  Stay with us.

Salam.




Berselancar lebih cepat dan lebih cerdas dengan Firefox 3!

Silahkan kirim artikel di Blog ini

Salam Bloger,
 
Bila Anda ingin kirim Artikel, Saran dan kritik di blog ini maka dapat di kirim ke Email : ririn_mpd.smp12@blogger.com
 
Artikel Anda akan dapat tampil di blog ini
 
Atas Partisipasi dan Kunjungannya di Blog ini kami ucapkan terima kasih.
 
 
Penulis
Ririn Dwi Astuti, SPd
Guru Ekonomi
 

08 Januari, 2009

Guru menjadi Cita Cita Favoritku

Semarang - Tahun depan tenaga pendidik benar-benar menjadi anak emas. Berkat lonjakan anggaran pendidikan dalam RAPBN 2009, kesejahteraan guru semakin meningkat. Misalnya, untuk guru PNS golongan II/B tanpa sertifikat profesi dengan masa mengajar 0 tahun bakal memperoleh gaji minimal Rp 2 juta.

”Itu untuk menunjukkan komitmen kami terhadap penggunaan anggaran yang besar tersebut,” ujar Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo setelah rapat kerja dengan Komisi X DPR di Jakarta kemarin (10/9).

Mendiknas melanjutkan, gaji guru PNS golongan IV/E bersertifikat profesi bisa mencapai Rp 6,9 juta. Gaji tersebut, tambahnya, belum termasuk tunjangan fungsional dan tunjangan profesi untuk guru dengan sertifikat. Pemerintah juga memberikan tunjangan fungsional untuk guru tetap non-PNS yang belum sarjana Rp 250 ribu per bulan dan sarjana minimal Rp 300 ribu per bulan.

Pendapatan 30 ribu guru daerah terpencil juga akan ditingkatkan. Jika sebelumnya guru daerah terpencil yang bersertifikat digaji Rp 2,29 juta pada 2008, tahun depan jumlahnya naik menjadi Rp 5,1 juta. Guru daerah terpencil yang belum bersertifikat yang sebelumnya mendapatkan Rp 2,29 juta bakal ditambah menjadi Rp 3,6 juta tahun depan.
Bukan hanya guru, gaji dosen juga meningkat seiring dengan naiknya anggaran pendidikan. Jika sebelumnya dosen pegawai negeri sipil golongan III/B tanpa sertifikat profesi dengan masa mengajar 0 tahun mendapatkan Rp 1,8 juta, tahun depan angkanya bertambah menjadi Rp 2,26 juta. Untuk guru besar yang berstatus PNS golongan IV/E bersertifikat, gajinya naik tajam dari Rp 5,1 juta menjadi Rp 13,5 juta.

”Peningkatan kesejahteraan guru dan dosen, kata Mendiknas, menempati porsi 27 persen dari anggaran pendidikan,” sebutnya. Kenaikan anggaran pendidikan yang menjadi Rp 224,4 triliun pada RAPBN 2009 juga dimanfaatkan untuk percepatan penuntasan wajib belajar dari tingkat dasar hingga sekolah menengah. Menurut Mendiknas, anggaran pendidikan nanti terserap lebih dari 50 persen untuk program wajib belajar.

”Kami gunakan anggaran untuk pendidikan menengah di Depdiknas maupun di Depag. Anggaran untuk pendidikan tinggi juga dinaikkan. Pendidikan nonformal juga kita naikkan, tapi tidak banyak,” tegasnya. Kenaikan anggaran pendidikan digunakan pula untuk peningkatan kesejahteraan peneliti dan perekayasa di luar Depdiknas. Depdiknas menyiapkan anggaran bagi peneliti non-PNS melalui skema yang diatur oleh Ditjen Pendidikan Tinggi.

Fungsi-fungsi pendidikan kedinasan yang dilakukan departemen lain, seperti IPDN di Depdagri dan STAN di Depkeu, tidak boleh memakai anggaran pendidikan karena tidak sesuai dengan UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). ”Anggaran itu tidak digunakan untuk lembaga pendidikan yang tidak dinaungi UU Sisdiknas,” tegasnya. Nanti segera dibuat peraturan pemerintah (PP) tentang pendidikan kedinasan untuk mengatur peralihan penyelenggaraan pendidikan agar tunduk sepenuhnya pada UU Sisdiknas.